SUDAJI KAMPUNG HALAMANKU

SUDAJI KAMPUNG HALAMANKU
TEMPLATE

Kamis, 28 Desember 2017

SRI HYANGNINGHYANG ADIDEWA LANCANA



SRI HYANGNINGHYANG ADIDEWA LANCANA

Pada tahun 1254 M, Raja Wisnu Wardhana mengangkat putranya yang bernama Kertha Negara sebagai Yuwaraja (Raja Muda). Dan bersamaan dengan itu Sri Adikunti Ketana menyerahkan kekuasaannya kepada Ni Ratu Mas Gandha Harum. Beliau dinobatkan sebagai Raja dengan gelar Sri Hyangninghyang Adidewalancana. Tempat penobatan beliau di wilayah Air Haji disebut Pura Gandha Meru. Beliau adalah pemuja Hyang Gandha Waha yang merupakan nama lain dari pada Dewa Bayu. Sejak saat itu wilayah Air Haji disebut Sudha Aji (Penobatan Raja).
Menurut Prasasti Bulian B, pada tahun 1260 M keraton Dharma Hanar Kawista hancur karena diserang para perompak. Ini adalah penyerangan pasukan Singhosari, sehingga beliau memindahkan keratonnya ke Desa Sudhaji dengan nama Gandha Pura (sekarang Pura Desa Sudaji). Kekuasaan beliau dibantu oleh mahapatih Giri Ulung dan Giri Manasa. Secara kenoarkeologi di wilayah Manasa terdapat nama pura-pura dan nama Desa yang mengacu kepada nama jabatan seorang Ksatria seperti : Pura Sang Kumpi, Pura Sang Pete, Pura Sang Danda, Sang Kertya, Sang Ketan, Sang Wangsit, Sang Siat, Sang Muni, Sang Siwa.

Pada Kekuasaan Sri Hyangning Hyang Adi Dewa Lancana tahun 1260 M, sekte Bayu mengalami perkembangan yang sangat pesat di wilayah Manasa. Masyarakat Taman Beji merubah bentuk pemujaan dari kemanunggalan Wisnu Sambhu menjadi Wisnu-Bayu. Perubahan pemujaan ini menyebabkan perubahan hewan Kurban dari Babi (Celeng) menjadi Ayam (Siap), sehingga Bukakak di Pura Taman Beji sekarang disebut Bukakak Siap. Sebagai bukti arkeologi adalah hingga sekarang Arca Waraha (Hyang Celeng Mejambol) di Pura Beji Sangsit diletakkan dibawah, dan diganti dengan Genta yang bergambar Dewa Bayu disebut Ratu Pajenengan. Perbedaan bentuk pemujaan antara masyarakat Taman Gunung Sekar dengan masyarakat Taman Beji menimbulkan hubungan yang tidak harmonis. Sehingga setiap Ida Batara Bukakak Celeng ngelelawang keliling desa tidak diperkenankan masuk ke wilayah Taman Beji. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai sekarang karena adanya mitologi, jika Bukakak Celeng dibiarkan masuk ke Taman Beji maka masyarakat subak Beji akan mengalami kegagalan Panen. Di wilayah Taman Gunung Sekar sekte Bhayu tidak berkembang baik, karena mayoritas masyarakatnya memuja kemanunggalan Wisnu dengan Sambu. Namun demikian Krama Taman Gunung Sekar yang melakukan pemujaan terhadap Dewa Bayu di Taman Beji disebut Krama Bayu Asep. Dresta ini hingga sekarang masih diwarisi oleh masyarakat Desa Sangsit, dimana Krama Desa Gunung Sekar yang memuja ke Desa Sangsit disebut Krama Bayu Asep. Mereka tidak dikenakan biaya upacara keagamaan, tetapi hanya punia menurut keikhlasannya.


EKSPEDISI KERTANEGARA KE BALI

Menurut Sejarah Nasioanl Indonesia Ekspedisi Kerajaan Singhosari ke Bali dilakukan pada kekuasaan Kertha Negara tahun 1284 M. Mengetahui rencana Kerajaan Singhosari akan mengadakan ekspedisi ke Bali, maka Giri Mas Panji yang menjadi Adipati di Meregan, pergi ke Bali untuk membantu ibunya yang menjadi raja di Bali. Kerajaan Singhosari mengirim beberapa pasukan yaitu Pasukan Laut (Pagar Uyung) yang dipimpin oleh Kebo Bungalan dan Pasukan Darat (Pagar Wsi) yang dipimpin oleh Lembu Tal. Beberapa wilayah di Bali dapat dikuasai oleh pasukan Lembu Tal seperti Wilayah Kutianyar yang disebut Desa Jun-Tal. Untuk menandai wilaya-wilayah kekuasaan Lembu Tal beliau membangun benteng kekuasaan yang disebut Pura Ken-Tal Gumi. Sedangkan pasukan Rakyan Kebo Bungalan menyerang wilayah kekuasaannya Sri Masula-Masuli di Buruan dan kemudian membangun Pura Kebo Ijo sebagai simbol kekuasaannya.
Dari data-data arkeologis yang terdapat di wilayah Manasa dapat dikatakan bahwa pasukan Singhosari untuk menguasai Keraton Gandha Meru melakukan penyerangan dari wilayah Pesisir Pantai Bungkulan. Tempat pengkonsetrasian pasukan Lembu Tal sekarang disebut Pura Yeh Lembu, sedangkan pasukan Kebo Bungalan disebut Pura Nyili (Kepala Pasukan). Pertempuran terjadi dengan sangat sengit, tetapi karena pasukan Singhosari lebih mahir melakukan pertempuran di wilayah pesisir maka pasukan Bali dapat didesak mundur.
Terdesaknya pasukan Bali, maka Sri Hyangninghyang Adi Dewa Lancana merubah taktik pertempuran yaitu dengan mengadakan Perang Gerilya. Pasukan Bali dipecah menjadi empat yaitu :
  1. Giri Ulung ke arah Selatan untuk mempertahankan wilayah Buruan, dengan nama samara Ki Tapo Ulung.
  2. Giri Manasa ke  arah Barat untuk mempertahankan wilayah Adri Karang, dengan nama samaran Ki Giri Mana.
  3. Giri Mas Panji kearah Timur untuk mempertahankan wilayah Bulihan dengan nama samaran Ki Ramas.
  4. Sri Hyangninghyang Adi Dewa Lancana (Ratu Mas Gandha Harum) bertahan di Manasa untuk mempertahankan Keraton Gandha Pura.
Tempat berpencarnya pasukan menjadi empat bagian dibangun benteng peringatan yang disebut Pura Belah Ketipat di wilayah Manasa yang berarti Pecah Menjadi Empat. Dalam perang gerilya ini banyak pasukan Singhosari yang terbunuh ketika masuk ke wilayah Alas Cemara, sehingga Alas Cemara disebut Alas Angker. Dengan taktik gerilya pasukan Singhosari menjadi kewalahan menghadapi pasukan Ratu Mas Gandha Harum. Kemudian Raja Kertha di Kerajaan Singhosari mengirim pasukan gerilya yanbg disebut Pasukan Pagar Ayam dibawah pimpinan Ki Jaran Waha (Kyai Wahab). Ki Jaran Waha (Kyai Wahab) adalah salah seorang Ksatria Singhosari berasal dari Pedagang Gujarat yang beragama Islam. Sejak saat itu mulai berdatangan kelompok masyarakat Islam di Bali. Untuk mengantisipasi gerakan pasukan kerajaan Bali, maka pasukan Pagar Ayam Singhosari dikonsentrasikan di beberapa wilayah yaitu di Yeh Taluh disebut Desa Jarat, di Alas Angker disebut Desa Pagayaman dan di Panca Sari Bedugul, di Teba kauh disebut Desa Tegal Linggah.
Dari Desa Pagayaman pasukan Singhosari menyerang keratin Gandha Meru yang ada di Sudhaji. Pertempuran yang sengit terjadi di perbatasan Tukad Sudaji yang sekarang disebut Desa Silangjana. Kemudian keraton Gandha Meru (Pura Desa Sudaji) dapat dihancurkan oleh pasukan Pagarayam. Ratu Mas Gandha Harum memindahkan keratonnya ke wilayah yang tersembunyi di pinggir tukad Sudaji yang sekarang disebut Pura Gandha Meru. Keraton inipun dapat dihancurkan oleh pasukan Pagayaman, dan kemudian dipindahkan ke wilayahnya Sang Danda yang disebut Pura Madya Sanda. Disini beliau menata kembali sisa-sisa pasukannya untuk mempersiapkan penyerangan ke wilayah Pasukan Pagar Ayam di Pagayaman. Beliau menggunakan Batu sebagai senjata untuk menyerang pasukan Pagar Ayam  yang berani masuk ke wilayah Sanda. Tempat gudang batu sebagai senjata penyerangannya sekarang disebut Pura Batu Bedil. Seluruh rakyat yang masih loyal terhadap kekuasaannya menghaturkan batu ke Pura Batu Bedil untuk senjata penyerangan. Hingga saat ini terdapat keunikan budaya yaitu seluruh masyarakat yang bersembahyang ke Pura Batu Bedil hanya menghaturkan batu sebagai sarana pemujaannya (tidak menggunakan banten/sesajen).
Setelah pasukannya dianggap kuat, maka beliau mengadakan penyerangan ke pos penjagaan pasukan Pagar Ayam (Pagayaman) di Alas Angker. Kekuatan pasukan yang tidak seimbang, maka pasukan Ratu Mas Gandha Harum (Sri Hyangninghyang Adidewa Lancana) dapa dikalahkan. Dalam pertempuran ini beliau gugur dan jasadnyua distanakan di Banjar Pendem yang disebut Pura Dalem Murwa. Pura ini sekarang dipuja oleh 7 desa adat yang ada di sekitar wilayah Alas Angker. Dengan demikian sejak tahun 1284 M  berakhirlah kekuasaan Dinasti Kerajaan Pajajaran di Bali.

(halaman 139-145 buku PUSTAKA BALI karangan Ir. Ketut Darmaya)



 PURA BALE AGUNG DESA SUDAJI
  

 PURA GANDA MERU SUDAJI



 PURA BUKIT MADIA SUDAJI


 PELINGGIH BATU BEDIL SUDAJI











Kamis, 21 Desember 2017

CANDI BENTAR PURA DALEM SUDAJI

Candi bentar Pura Dalem yang baru selesai dibangun tampak megah dan indah.
Dikerjakan oleh tokoh-tokoh seniman ukir yang handal dan profesional asli dari Desa Sudaji.
Mereka adalah seniman dengan bakat alam dan sangat terampil dalam mengerjakan ukiran bias melela.

Pembangunan candi bentar ini menghabiskan waktu lebih kurang setahun dan dengan biaya lumayan besar yang dikumpulkan dan didonasikan dari warga Desa Sudaji.

Kini bangunan Candi Bentar ini menjadi salah satu ikon untuk objek berfoto baik oleh orang lokal maupun wisatawan manca negara. Sebagian besar mereka berdecak kagum dengan hasil karya yang luar biasa indah dan megah di pusat desa Sudaji ini.

Semua hasil karya itu terwujud berkat semangat semua lapisan masyarakat Desa Sudaji untuk mendukung kemajuan pembangunan desa dalam hal spiritual keagamaan berupa bangunan suci Candi Bentar Pura Dalem Desa Pakraman Sudaji





Selasa, 10 Oktober 2017

KARYA NGUSABA NYERI SUDAJI

Karya Nyeri atau Ngusaba Sri di Desa Sudaji, Buleleng, Bali bermakna Perayaan (piodalan) yang ditujukan kepada Dewi Sri yaitu Dewi Kesuburan atau Dewi Padi. Perayaan ini berlangsung setahun sekali yang melibatkan Krama Subak utamanya pemilik lahan basah yang berada di wilayah Desa Dinas Sudaji.


Upacara Ngusaba Sri (atau Ngusaba Nini)  bertujuan memohon waranugraha kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa serta manifestasinya agar memberkahi kemakmuran pada umat manusia, memohon kesuburan terhadap keberhasilan-keberhasilan pertanian dan terhindar dari segala hama penyakit.
Upacara ini biasanya jatuh pada bulan Oktober dan berlangsung tiga hari. Hari pertama diawali dengan piodalan di Pura Sang Peta dan berlanjut di Pura Sang Kumpi. Di hari berikutnya piodalan berlangsung di Pura Desa atau Bale Agung  Sudaji. Keesokan harinya berlangsung Upacara Ngerebeg yaitu prosesi dari Pura Desa ke Pura Dalem Sudaji. Pada saat acara Ngerebeg ini, yang biasanya berlangsung sore hari, para pemuka adat seperti  Bendesa, Penyarikan, Kubayan, Kelian Subak, Kelian Dusun Adat (Kelian Tempek), Pecalang, Saye, Teruni, Sekeha Gong Gede, Sekeha Baleganjur dan perwakilan dari pemilik lahan basah menyungsung Simbol Cili (Perwujudan Dewi Sri)
Keesokan harinya adalah hari terakhir dari perayaan Karye Nyeri yaitu Upacara Merejang yang merupakan rangkaian penutupan Piodalan Nyeri.