SUDAJI KAMPUNG HALAMANKU

SUDAJI KAMPUNG HALAMANKU
TEMPLATE

Selasa, 16 Maret 2021

FOTO-FOTO JADUL SUDAJI

 Foto-foto berikut diambil sekitar tahun 1975 dengan warna hitam putih.

Ada Pura Dalem, Pasar Sudaji, Balai Banjar Kajekangin, Wanita yang akan menjinjing sesajen 

Tungkub di Pura Dalem Sudaji


Pasar Sudaji di siang hari. di pagi hari sangat ramai


Balai Banjar Kajekangin dengan tugu penunjuk jalan.
Kini tugu itu sudah tidak ada, begitu pula struktur bangunannya sudah berubah dengan stil baru


Seorang wanita sedang bersiap siap menjinjing sesajen (pajegan) yang berukuran tinggi






Kamis, 16 Juli 2020

BATU MEGANTUNG

Batu Megantung adalah nama yang diberikan untuk sebongkah besar batu ini yang letaknya di lereng perbukitan Sudaji tepatnya di bawah sebelah utara bagian timur dari Puncak Cemara Geseng.
Dinamakan demikian karena batu ini kelihatan sangat nenggel (bahasa Bali) yaitu seperti mau jatuh. Maka orang-orang menamakan batu ini megantung/bergantung
Tempat ini dapat terlihat jelas dari Desa Lemukih, Dusun Buah Banjah di wilayah Tumpalan.
Batu Megantung ini memang sangat unik dan selalu menjadi buah bibir di antara tetua di sekitar Sudaji dan Lemukih. Anak-anak muda jarang yang tahu tentang tempat ini, karena selain jauh dari pemukiman, juga untuk mencapai tempat ini cukup sulit. Kita harus mendaki sekitar 1 jam dari Tumpalah di rumah penduduk setempat sebagai parkir atau start point kemudian menyusuri belukar yang lebat. Di musim hujan kita harus sangat berhati-hati karena jalannya sangat licin.
Ukuran Batu Megantung ini sangat besar, yang tampak di permukaan berdiameter sekitar 10 meter dengan ketinggian lebih dari 20 meter. Dililit oleh akar pohon bunut (sejenis pohon beringin) sehingga kelihatan seakan menahan batu ini agar tidak jatuh.
Batu besar ini dikeramatkan dan disakralkan oleh warga sekitar dan ada cerita unik yaitu apabila ada seseorang yang tidak berniat baik datang kesini dan berusaha mencapai puncak batu ini, pertama dia harus memanjat pohon bunut itu, kemudian ketika dia hendak turun dia tidak bisa kembali karena pohon itu susah digapai.
Orang-orang yang bermaksud ke tempat ini biasanya untuk mencari kedamaian dengan bermeditasi atau bertapa karena memang tempat ini sangat sepi dan auranya sangat damai dan hening. Pemandangan dari Batu Megantung ini juga sangat indah ke sebelah timur, kita bisa melihat daerah pedesaan dengan sawahnya dan perbukitan yang indah menawan. Juga pemandangan lembah yang hijau mempesona.

Tampak Batu Megantung menonjol di lereng bukit







 Seekor katak ditemukan di lereng bukit menuju Batu Megantung
















Jumat, 06 Maret 2020

SUDAJI'S CULTURAL FESTIVAL

Om Swastyastu, 

Sebagaimana hari raya dirayakan setiap tahun, maka demikian pula halnya Desa Pakraman Sudaji yang memiliki acara Pujawali atau Piodalan di pura Kahyangan Desa. Secara reguler piodalan di Desa Sudaji berlangsung antara bulan Juni dan Juli yang melibatkan seluruh warga desa adat.
Seiring dengan perkembangan wisata saat ini, maka Desa Wisata Sudaji yang dimotori oleh Pokdarwis menggunakan momentum tersebut untuk diagendakan dalam program kerjanya sebagai "Calender of Event" agar dapat dikenal oleh masyarakat luas.

Dalam rangkaian piodalan tersebut terdapat beberapa tradisi unik yang tidak dapat ditemukan pada tempat lain. Salah satunya adalah Tradisi Bukakak yang hanya ada di Desa Sudaji dan dilaksanakan hanya sekali dalam setahun yaitu setelah selesai acara piodalan Karya Desa di Pura Bale Agung Sudaji. Acara ini dapat dikatakan sebagai moment yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat karena sebagian besar warga sangat antusias menyaksikan arak-arakan Bukakak yang dilakukan pada malam hari. Banyak orang dari luar desa Sudaji juga datang karena ingin tahu proses Bukakak ini, bahkan terlihat juga wisatawan asing turut serta menyaksikannya. 

Kegiatan Pujawali yang berlangsung selama lebih dari sebulan itu memang layak dirangkum menjadi satu wadah Calender of Event dan diorganisir secara lebih profesional tanpa menghilangkan esensi dari tujuannya yang sebenarnya yaitu kegiatan adat dan keagamaan. 

Di tahun ini, tahun 2020,  Sudaji's Cultral Festival dicanangkan lagi untuk yang kedua kalinya sejak di-launching tahun lalu yang mendapat dukungan dari berbagai pihak baik pemerintah maupun pemuka adat dan tentunya masyarakat setempat sebagai tuan rumah. 

Semoga berjalan lancar dan mendapat perkenan dan lindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Om Shanti Shanti Shanti Om

 







Selasa, 18 Juni 2019

UPACARA NAWUR PENEMPUH DI DESA SUDAJI


Tradisi “NAWUR PENEMPUH” bersumber pada kepercayaan bahwa seorang laki-laki/pria dari luar Desa adat Sudaji yang mempersunting wanita asal dari Desa Adat Sudaji mempunyai kewajiban moril dan sakral untuk melakukan upacara pernikahan semacam yg disebut “melepeh” terhadap Betara/Betari yg bersemayam di Pura Desa (Bale Agung). Sama halnya dengan upacara pernikahan yang mempelai pria harus laksanakan terhadap orang tua serta keluarga mempelai wanita secara nyata (sekala). Upacara “melepeh” ini berwujud berbagai jenis jajan khususnya jajan yang bernama Bantal dan Alem, bersama uang “petukon wadu” (‘pembeli perempuan) secara simbolis. Meskipun “melepeh” ini bukan merupakan syarat untuk syahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Bali, namun upacara itu dipandang umum sangat penting yang harus diselenggarakan oleh pihak mempelai wanita menerima "pemelepeh" itu berarti merelakan dengan tulus ikhlas anaknya menikah dengan mempelai pria itu dan menerima penyelesaian perkawinan itu dengan tuntas. 

Dalam hubungan ini diingatkan bahwa pernikahan yang dilaksanakan tidak dengan persetujuan orang tua mempelai wanita, misalnya perkawinan denga cara “melegandang” atau “merangkat” (kawin paksa dan kawin lari) atau perkawinan antara pihak yg berlainan kasta, dulu sering dan masa kini kadang-kadang masih menimbulkan masalah pelik yg sering makan waktu lama bagi usaha penyelesaiannya/pemecahannya, maka dalam hal demikian itu upacara melepehlah merupakan bukti penyelesaian secara tuntas.

Upacara melepeh terhadap keluarga mempelai wanita umumnya disertai pula dengan melepeh terhadap leluhur mempelai wanita yang rohnya sudah suci dan berstana di Sanggah (merajan) jajaran kemiri, Pura Paibon atau Balai Moksala dsb. Kepada roh-roh suci itupun dicanangkan pula “Bantal Alem” dengan sekaligus dihunjukkan permohonan “mepamit” oleh mempelai wanita terhadap roh leluhurnya. Upacara mepamit ini ditujukan kepada roh-roh leluhurnya apabila mempelai pria berasal dari luar keluarga besarnya (Dadia) mempelai wanita. Apabila mempelai pria berasal dari satu sanggah Jajaran Kemiri atau satu sanggah Dadia dengan istrinya, kedua pihak hanya mempermaklumkan (matur uninga) perihal mereka menikah.

Melepeh serta mepamit terhadap keluarga mempelai wanita atau melepeh serta mepamit terhadap leluhur mereka di Sanggah Jajaran Kemiri, sanggah kemulan atau Paibon mengandung motivasi serta tujuan yang sama. Bukankah mempelai wanita merupakan keturunan atau pratisentana dari leluhur mereka yang sudah suci, hingga wajarlah bahwa seorang wanita yang pergi menikah dengan khidmat mohon diri (mepamit) untuk membangun rumah tangga baru. Pandangan masyarakat diatas ini, kalau diproyeksikan terhadap Desa Adat dalam hubungannya dengan wanita yg menikah keluar Desa Adat Sudaji menghasilkan kesimpulan yg sama, meski secara niskala. Mempelai wanita itu merupakan pratisentana dari cikal bakal Desa Adat Sudaji, maka wajarlah kalau ia menikah keluar dari lingkungan Desa Adat, suaminya harus juga menghaturkan “pemelepeh” kepada dan mohon pamit dari roh-roh suci leluhurnya yg bersemayam – meskipun untuk sementara di Pura Desa. Dengan demikian “pemelepeh” terhadap Ida Betara yang bersemayam di pura , mempunyai makna sama dengan melepeh secara sekala (nyata) terhadap orang tua mempelai wanita. Hanya sifatnya sekuler (duniawi). Diingatkan disini kepada konsepsi saya diatas bahwa roh-roh suci leluhur Desa Adat atau cikal bakalnya, terutama yang merupakan penbdiri Desa Adat mempunyai kedudukan yg dianggap sama dengan Dewa, pun sudah (bisa) disebut Dewata. 

Kini dapatlah dimengerti bahwa alat-alat upacara yang dihaturkan oleh keluarga mempelai lelaki dalam upacara “Nawur Penempuh” yang hakekatnya sama maknanya dengan melepeh, juga sama dengan alat-alat yang dipergunakan pada upacara melepeh. Alat yang paling spektakuler (menyolok) ialah yang disebut Base Gede, lambing penganten. Selain jajan bantal alem dll, yg nawur penempuh juga menghaturkan satu babi guling. Pada waktu upacara Ngerebeg, segala alat serta babi guling ditambah daging babi yg sudah diolah diarak menuju Pura Dalem bersamaan dengan jalannya pawai. Kepada Ida Betara di Pura Dalem tatkala dilakukan piodalan disana sudah dipermaklumkan niat untuk nawur penempuh pada waktu akan dilangsungkan pujawali di Pura Desa. 

Telah ditegaskan bahwa kewajiban nawur penempuh adalah kewajiban moril dan sacral yang tidak ada sanksi hukumnya, meskipun kata “Penempuh” dapat diartikan : imbalan atau ganti rugi, namun keluarga mempelai wanita, begitu juga para ulu desa Adat atau Desa Adatnya sendiri tidak bisa menuntutnya dan memang tidak pernah menuntutnya walau diluar hokum (pengadilan)pun. Imbalan atau ganti rugi termaksud harus dipersembahkan kepada Ida Betara (roh-roh suci cikal bakal Desa Adat) karena beliaulah yang kehilangan seorang pretisentana yang dipersunting oleh orang luar Desa Adat. Dengan demikian pretisentana cikal bakal Desa Adat Sudaji menjadi sentana Desa Adat lain.
Lain halnya kalau pretisentana wanita itu menikah dengan pretisentana Desa Adat Sudaji sendiri, keduanya masih tetap menjadi pretisentana dari Desa Adat Sudaji dan masih dapat melakukan sujud baktinya kepada Desa Adat Sudaji. 

Sungguhpun kewajiban membayar penempuh oleh keluarga mempelai pria tidak dapat dituntut secara sekala, namun secara niskala senantiasa mempelai pria diingatkan oleh Ida Betara akan kewajibannhya itu dengan berbagai isyarat, bukan saja kepada kedua mempelai tetapi sering juga kepada anak cucunya, kalau mereka sendiri tidak menghiraukannya. Sanksi atas kelalaian demikian itu sering serius dan sangat merugikan anak cucu yang bersangkutan. Dari itu kewajiban nawur penempuh seringkali baru “dibayar” / baru sempat dibayar oleh cucu yang bersangkutan.

(sumber : Buku Monografi Desa Adat Sudaji karangan Mr. Gede Panetja) 









Minggu, 27 Januari 2019

PEACE RUN KE 4 DI SUDAJI


Sri Chinmoy adalah pemimpin spiritual India (27 Agustus 1937 - 11 Oktober 2007) Beliau adalah pendiri Peace Run pada  tahun 1987 yaitu  aktivitas lari membawa obor melintasi berbagai negara dengan misi perdamaian dan persahabatan untuk dunia yang lebih baik. Lari Perdamaian ini telah melibatkan berbagai tokoh dan pemimpin dunia untuk menyuarakan keharmonisan antara manusia, alam dan budaya. Selain itu juga untuk meningkatkan bidang pendidikan dengan kunjungan ke sekolah-sekolah dimana anak-anak sekolah yang dikunjungi ikut berpartisipasi dalam Peace Run ini. 

 
 Sri Chinmoy

Tanggal  25 Januari 2019 yang lalu, Desa Sudaji kembali dipercaya untuk wilayah Bali Utara untuk tempat Lari Perdamaian ini. Lebih dari 30 negara dan ratusan partisipan ikut meramaikan event internasional ini dan melintasi alam pedesaan yang indah di Sudaji. 

Secara resmi dibuka oleh Wakil Gubernur Bali Bapak Cok Ace dan Bupati Buleleng Bapak Agus Suradnyana didampingi oleh pejabat-pejabat pemerintah dan juga Kelihan Desa Pakraman Sudaji Jro Bendesa Nyoman Sunuada beserta prajuru adat lainnya. 
Masyarakat pun membludak memenuhi lapangan Desa Sudaji dan sangat antusias menyaksikan gelaran internasional ini yang pesertanya kebanyakan dari manca negara.