SRI HYANGNINGHYANG
ADIDEWA LANCANA
Pada tahun 1254 M, Raja Wisnu Wardhana mengangkat putranya
yang bernama Kertha Negara sebagai Yuwaraja (Raja Muda). Dan bersamaan dengan
itu Sri Adikunti Ketana menyerahkan kekuasaannya kepada Ni Ratu Mas Gandha
Harum. Beliau dinobatkan sebagai Raja dengan gelar Sri Hyangninghyang
Adidewalancana. Tempat penobatan beliau di wilayah Air Haji disebut Pura Gandha
Meru. Beliau adalah pemuja Hyang Gandha Waha yang merupakan nama lain dari pada
Dewa Bayu. Sejak saat itu wilayah Air Haji disebut Sudha Aji (Penobatan Raja).
Menurut Prasasti Bulian B, pada tahun 1260 M keraton Dharma
Hanar Kawista hancur karena diserang para perompak. Ini adalah penyerangan
pasukan Singhosari, sehingga beliau memindahkan keratonnya ke Desa Sudhaji dengan
nama Gandha Pura (sekarang Pura Desa Sudaji). Kekuasaan beliau dibantu oleh
mahapatih Giri Ulung dan Giri Manasa. Secara kenoarkeologi di wilayah Manasa
terdapat nama pura-pura dan nama Desa yang mengacu kepada nama jabatan seorang
Ksatria seperti : Pura Sang Kumpi, Pura Sang Pete, Pura Sang Danda, Sang
Kertya, Sang Ketan, Sang Wangsit, Sang Siat, Sang Muni, Sang Siwa.
Pada Kekuasaan Sri Hyangning Hyang Adi Dewa Lancana tahun
1260 M, sekte Bayu mengalami perkembangan yang sangat pesat di wilayah Manasa.
Masyarakat Taman Beji merubah bentuk pemujaan dari kemanunggalan Wisnu Sambhu
menjadi Wisnu-Bayu. Perubahan pemujaan ini menyebabkan perubahan hewan Kurban
dari Babi (Celeng) menjadi Ayam (Siap), sehingga Bukakak di Pura Taman Beji
sekarang disebut Bukakak Siap. Sebagai bukti arkeologi adalah hingga sekarang
Arca Waraha (Hyang Celeng Mejambol) di Pura Beji Sangsit diletakkan dibawah,
dan diganti dengan Genta yang bergambar Dewa Bayu disebut Ratu Pajenengan.
Perbedaan bentuk pemujaan antara masyarakat Taman Gunung Sekar dengan
masyarakat Taman Beji menimbulkan hubungan yang tidak harmonis. Sehingga setiap
Ida Batara Bukakak Celeng ngelelawang keliling desa tidak diperkenankan masuk
ke wilayah Taman Beji. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai sekarang karena
adanya mitologi, jika Bukakak Celeng dibiarkan masuk ke Taman Beji maka
masyarakat subak Beji akan mengalami kegagalan Panen. Di wilayah Taman Gunung
Sekar sekte Bhayu tidak berkembang baik, karena mayoritas masyarakatnya memuja
kemanunggalan Wisnu dengan Sambu. Namun demikian Krama Taman Gunung Sekar yang
melakukan pemujaan terhadap Dewa Bayu di Taman Beji disebut Krama Bayu Asep.
Dresta ini hingga sekarang masih diwarisi oleh masyarakat Desa Sangsit, dimana
Krama Desa Gunung Sekar yang memuja ke Desa Sangsit disebut Krama Bayu Asep.
Mereka tidak dikenakan biaya upacara keagamaan, tetapi hanya punia menurut
keikhlasannya.
EKSPEDISI KERTANEGARA KE BALI
Menurut Sejarah Nasioanl Indonesia Ekspedisi Kerajaan
Singhosari ke Bali dilakukan pada kekuasaan Kertha Negara tahun 1284 M.
Mengetahui rencana Kerajaan Singhosari akan mengadakan ekspedisi ke Bali, maka
Giri Mas Panji yang menjadi Adipati di Meregan, pergi ke Bali untuk membantu
ibunya yang menjadi raja di Bali. Kerajaan Singhosari mengirim beberapa pasukan
yaitu Pasukan Laut (Pagar Uyung) yang dipimpin oleh Kebo Bungalan dan Pasukan
Darat (Pagar Wsi) yang dipimpin oleh Lembu Tal. Beberapa wilayah di Bali dapat
dikuasai oleh pasukan Lembu Tal seperti Wilayah Kutianyar yang disebut Desa
Jun-Tal. Untuk menandai wilaya-wilayah kekuasaan Lembu Tal beliau membangun
benteng kekuasaan yang disebut Pura Ken-Tal Gumi. Sedangkan pasukan Rakyan Kebo
Bungalan menyerang wilayah kekuasaannya Sri Masula-Masuli di Buruan dan
kemudian membangun Pura Kebo Ijo sebagai simbol kekuasaannya.
Dari data-data arkeologis yang terdapat di wilayah Manasa
dapat dikatakan bahwa pasukan Singhosari untuk menguasai Keraton Gandha Meru
melakukan penyerangan dari wilayah Pesisir Pantai Bungkulan. Tempat pengkonsetrasian
pasukan Lembu Tal sekarang disebut Pura Yeh Lembu, sedangkan pasukan Kebo
Bungalan disebut Pura Nyili (Kepala Pasukan). Pertempuran terjadi dengan sangat
sengit, tetapi karena pasukan Singhosari lebih mahir melakukan pertempuran di
wilayah pesisir maka pasukan Bali dapat didesak mundur.
Terdesaknya pasukan Bali, maka Sri Hyangninghyang Adi Dewa
Lancana merubah taktik pertempuran yaitu dengan mengadakan Perang Gerilya.
Pasukan Bali dipecah menjadi empat yaitu :
- Giri Ulung ke arah Selatan untuk mempertahankan wilayah Buruan, dengan nama samara Ki Tapo Ulung.
- Giri Manasa ke arah Barat untuk mempertahankan wilayah Adri Karang, dengan nama samaran Ki Giri Mana.
- Giri Mas Panji kearah Timur untuk mempertahankan wilayah Bulihan dengan nama samaran Ki Ramas.
- Sri Hyangninghyang Adi Dewa Lancana (Ratu Mas Gandha Harum) bertahan di Manasa untuk mempertahankan Keraton Gandha Pura.
Tempat berpencarnya pasukan menjadi empat bagian dibangun
benteng peringatan yang disebut Pura Belah Ketipat di wilayah Manasa yang
berarti Pecah Menjadi Empat. Dalam perang gerilya ini banyak pasukan Singhosari
yang terbunuh ketika masuk ke wilayah Alas Cemara, sehingga Alas Cemara disebut
Alas Angker. Dengan taktik gerilya pasukan Singhosari menjadi kewalahan
menghadapi pasukan Ratu Mas Gandha Harum. Kemudian Raja Kertha di Kerajaan
Singhosari mengirim pasukan gerilya yanbg disebut Pasukan Pagar Ayam dibawah
pimpinan Ki Jaran Waha (Kyai Wahab). Ki Jaran Waha (Kyai Wahab) adalah salah
seorang Ksatria Singhosari berasal dari Pedagang Gujarat yang beragama Islam.
Sejak saat itu mulai berdatangan kelompok masyarakat Islam di Bali. Untuk
mengantisipasi gerakan pasukan kerajaan Bali, maka pasukan Pagar Ayam
Singhosari dikonsentrasikan di beberapa wilayah yaitu di Yeh Taluh disebut Desa
Jarat, di Alas Angker disebut Desa Pagayaman dan di Panca Sari Bedugul, di Teba
kauh disebut Desa Tegal Linggah.
Dari Desa Pagayaman pasukan Singhosari menyerang keratin
Gandha Meru yang ada di Sudhaji. Pertempuran yang sengit terjadi di perbatasan
Tukad Sudaji yang sekarang disebut Desa Silangjana. Kemudian keraton Gandha
Meru (Pura Desa Sudaji) dapat dihancurkan oleh pasukan Pagarayam. Ratu Mas
Gandha Harum memindahkan keratonnya ke wilayah yang tersembunyi di pinggir
tukad Sudaji yang sekarang disebut Pura Gandha Meru. Keraton inipun dapat
dihancurkan oleh pasukan Pagayaman, dan kemudian dipindahkan ke wilayahnya Sang
Danda yang disebut Pura Madya Sanda. Disini beliau menata kembali sisa-sisa
pasukannya untuk mempersiapkan penyerangan ke wilayah Pasukan Pagar Ayam di
Pagayaman. Beliau menggunakan Batu sebagai senjata untuk menyerang pasukan
Pagar Ayam yang berani masuk ke wilayah
Sanda. Tempat gudang batu sebagai senjata penyerangannya sekarang disebut Pura
Batu Bedil. Seluruh rakyat yang masih loyal terhadap kekuasaannya menghaturkan
batu ke Pura Batu Bedil untuk senjata penyerangan. Hingga saat ini terdapat
keunikan budaya yaitu seluruh masyarakat yang bersembahyang ke Pura Batu Bedil
hanya menghaturkan batu sebagai sarana pemujaannya (tidak menggunakan banten/sesajen).
Setelah pasukannya dianggap kuat, maka beliau mengadakan
penyerangan ke pos penjagaan pasukan Pagar Ayam (Pagayaman) di Alas Angker.
Kekuatan pasukan yang tidak seimbang, maka pasukan Ratu Mas Gandha Harum (Sri
Hyangninghyang Adidewa Lancana) dapa dikalahkan. Dalam pertempuran ini beliau
gugur dan jasadnyua distanakan di Banjar Pendem yang disebut Pura Dalem Murwa.
Pura ini sekarang dipuja oleh 7 desa adat yang ada di sekitar wilayah Alas
Angker. Dengan demikian sejak tahun 1284 M
berakhirlah kekuasaan Dinasti Kerajaan Pajajaran di Bali.
(halaman 139-145 buku PUSTAKA BALI karangan Ir. Ketut
Darmaya)
PURA BALE AGUNG DESA SUDAJI
PURA GANDA MERU SUDAJI
PURA BUKIT MADIA SUDAJI