Tradisi “NAWUR PENEMPUH” bersumber
pada kepercayaan bahwa seorang laki-laki/pria dari luar Desa adat Sudaji yang
mempersunting wanita asal dari Desa Adat Sudaji mempunyai kewajiban moril dan
sakral untuk melakukan upacara pernikahan semacam yg disebut “melepeh” terhadap
Betara/Betari yg bersemayam di Pura Desa (Bale Agung). Sama halnya dengan
upacara pernikahan yang mempelai pria harus laksanakan terhadap orang tua serta
keluarga mempelai wanita secara nyata (sekala). Upacara “melepeh” ini berwujud
berbagai jenis jajan khususnya jajan yang bernama Bantal dan Alem, bersama uang
“petukon wadu” (‘pembeli perempuan) secara simbolis. Meskipun “melepeh” ini
bukan merupakan syarat untuk syahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Bali,
namun upacara itu dipandang umum sangat penting yang harus diselenggarakan oleh
pihak mempelai wanita menerima "pemelepeh" itu berarti merelakan dengan tulus
ikhlas anaknya menikah dengan mempelai pria itu dan menerima penyelesaian
perkawinan itu dengan tuntas.
Dalam hubungan ini diingatkan bahwa pernikahan
yang dilaksanakan tidak dengan persetujuan orang tua mempelai wanita, misalnya
perkawinan denga cara “melegandang” atau “merangkat” (kawin paksa dan kawin
lari) atau perkawinan antara pihak yg berlainan kasta, dulu sering dan masa
kini kadang-kadang masih menimbulkan masalah pelik yg sering makan waktu lama
bagi usaha penyelesaiannya/pemecahannya, maka dalam hal demikian itu upacara
melepehlah merupakan bukti penyelesaian secara tuntas.
Upacara melepeh terhadap keluarga mempelai wanita umumnya disertai pula dengan
melepeh terhadap leluhur mempelai wanita yang rohnya sudah suci dan berstana di
Sanggah (merajan) jajaran kemiri, Pura Paibon atau Balai Moksala dsb. Kepada
roh-roh suci itupun dicanangkan pula “Bantal Alem” dengan sekaligus dihunjukkan
permohonan “mepamit” oleh mempelai wanita terhadap roh leluhurnya. Upacara
mepamit ini ditujukan kepada roh-roh leluhurnya apabila mempelai pria berasal
dari luar keluarga besarnya (Dadia) mempelai wanita. Apabila mempelai pria
berasal dari satu sanggah Jajaran Kemiri atau satu sanggah Dadia dengan
istrinya, kedua pihak hanya mempermaklumkan (matur uninga) perihal mereka menikah.
Melepeh serta mepamit terhadap keluarga mempelai wanita atau melepeh serta
mepamit terhadap leluhur mereka di Sanggah Jajaran Kemiri, sanggah kemulan atau
Paibon mengandung motivasi serta tujuan yang sama. Bukankah mempelai wanita
merupakan keturunan atau pratisentana dari leluhur mereka yang sudah suci,
hingga wajarlah bahwa seorang wanita yang pergi menikah dengan khidmat mohon
diri (mepamit) untuk membangun rumah tangga baru. Pandangan masyarakat diatas
ini, kalau diproyeksikan terhadap Desa Adat dalam hubungannya dengan wanita yg
menikah keluar Desa Adat Sudaji menghasilkan kesimpulan yg sama, meski secara
niskala. Mempelai wanita itu merupakan pratisentana dari cikal bakal Desa Adat
Sudaji, maka wajarlah kalau ia menikah keluar dari lingkungan Desa Adat,
suaminya harus juga menghaturkan “pemelepeh” kepada dan mohon pamit dari
roh-roh suci leluhurnya yg bersemayam – meskipun untuk sementara di Pura Desa.
Dengan demikian “pemelepeh” terhadap Ida Betara yang bersemayam di pura ,
mempunyai makna sama dengan melepeh secara sekala (nyata) terhadap orang tua
mempelai wanita. Hanya sifatnya sekuler (duniawi). Diingatkan disini kepada
konsepsi saya diatas bahwa roh-roh suci leluhur Desa Adat atau cikal bakalnya,
terutama yang merupakan penbdiri Desa Adat mempunyai kedudukan yg dianggap sama
dengan Dewa, pun sudah (bisa) disebut Dewata.
Kini dapatlah dimengerti bahwa alat-alat upacara yang dihaturkan oleh keluarga
mempelai lelaki dalam upacara “Nawur Penempuh” yang hakekatnya sama maknanya
dengan melepeh, juga sama dengan alat-alat yang dipergunakan pada upacara
melepeh. Alat yang paling spektakuler (menyolok) ialah yang disebut Base Gede,
lambing penganten. Selain jajan bantal alem dll, yg nawur penempuh juga
menghaturkan satu babi guling. Pada waktu upacara Ngerebeg, segala alat serta
babi guling ditambah daging babi yg sudah diolah diarak menuju Pura Dalem
bersamaan dengan jalannya pawai. Kepada Ida Betara di Pura Dalem tatkala
dilakukan piodalan disana sudah dipermaklumkan niat untuk nawur penempuh pada
waktu akan dilangsungkan pujawali di Pura Desa.
Telah ditegaskan bahwa kewajiban nawur penempuh adalah kewajiban moril dan
sacral yang tidak ada sanksi hukumnya, meskipun kata “Penempuh” dapat diartikan
: imbalan atau ganti rugi, namun keluarga mempelai wanita, begitu juga para ulu
desa Adat atau Desa Adatnya sendiri tidak bisa menuntutnya dan memang tidak
pernah menuntutnya walau diluar hokum (pengadilan)pun. Imbalan atau ganti rugi
termaksud harus dipersembahkan kepada Ida Betara (roh-roh suci cikal bakal Desa
Adat) karena beliaulah yang kehilangan seorang pretisentana yang dipersunting
oleh orang luar Desa Adat. Dengan demikian pretisentana cikal bakal Desa Adat
Sudaji menjadi sentana Desa Adat lain.
Lain halnya kalau pretisentana wanita itu menikah dengan pretisentana Desa Adat
Sudaji sendiri, keduanya masih tetap menjadi pretisentana dari Desa Adat Sudaji
dan masih dapat melakukan sujud baktinya kepada Desa Adat Sudaji.
Sungguhpun kewajiban membayar penempuh oleh keluarga mempelai pria tidak dapat
dituntut secara sekala, namun secara niskala senantiasa mempelai pria
diingatkan oleh Ida Betara akan kewajibannhya itu dengan berbagai isyarat,
bukan saja kepada kedua mempelai tetapi sering juga kepada anak cucunya, kalau
mereka sendiri tidak menghiraukannya. Sanksi atas kelalaian demikian itu sering
serius dan sangat merugikan anak cucu yang bersangkutan. Dari itu kewajiban
nawur penempuh seringkali baru “dibayar” / baru sempat dibayar oleh cucu yang
bersangkutan.
(sumber : Buku Monografi Desa Adat Sudaji karangan Mr. Gede Panetja)